Ingin Laba? Berkeringatlah Lebih Dulu

[IMG:somm-sps-2018-2.jpeg]

Gempita digitalisasi yang terus meruyak di industri media, tak mengerdilkan semangat para pelaku media cetak di negeri ini untuk terus berkarya. Isu utama yang mereka usung adalah, pendapatan dari versi online atau digital masih sangat jauh dibanding pendapatan (iklan dan sirkulasi) versi cetak. “Tak sampai 10 persen kami dapatkan,” ucap Temu Sutrisno dari harian Mercusuar, Palu. Akibatnya, fokus pengembangan bisnis pun masih berkutat di versi cetak.

Para pemilik media cetak memang terasa harus bergegas mengejar iklim digitalisasi ini. Apalagi sejumlah media terkemuka di dunia telah merasakan tuah digitalisasi. Sebutlah misalnya New York Times dan Washington Post. Usai dibeli oleh pemilik Amazon, Jeff Bezos, Washington Post memang mulai berubah biru laporan keuangannya. Kedua koran harian terlaris di Amerika Serikat itu, kini mampu menjual edisi digital berlangganan mereka tak kurang dari 500 ribu copies per hari.

Namun kisah keberhasilan keduanya jelas tak luput dari episode sulit yang berdarah-darah. Washington Post, misalnya. Kehadiran Jeff Bezos dengan naluri dan budaya digitalnya ke koran ibukota negeri Paman Sam itu, membuat transformasi digital benar-benar terjadi secara optimal. Versi digital Washington Post memang dikerjakan oleh orang-orang yang benar-benar memahami cara berpikir dan bekerja media on-line. Dan bukan oleh pengelola media cetak yang (belajar) bekerja secara on-line!

Ditambah lagi, ekosistem masyarakat di Amerika memang sudah sangat kompatibel dengan sajian media cetak yang berubah ke versi digital. “Ekosistem seperti inilah yang belum kita miliki atau dapatkan di Indonesia,” ucap Ghofur dari Lampung Post di Solo, Kamis (27/9/2018). Suara-suara seperti halnya diutarakan Ghofur juga datang dari para pengelola koran di sejumlah daerah yang berhasil dihimpun PR INDONESIA dari forum workshop SPS School of Media Management (SoMM) batch #18 yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah, 27 – 28 September 2018.

Di daerah, monetisasi media on-line memang masih sulit. Masyarakat masih percaya kepada media cetak. “Dua tahun terakhir oplah kami justru naik. Iklan bercerita (advertorial) juga masih bisa dikembangkan,” ungkap General Manager Berau Post Abdul Azis. Hal sama dirasakan oleh Kaltim Post. Tak syak, jika para pengelola koran daerah masih berupaya mati-matian mengembangkan sayap bisnis cetak mereka disamping mencoba terus mencari cara agar versi on-line bisa tumbuh lebih cepat.

Model Bisnis Berubah

Merespons situasi bisnis koran di daerah, CEO Tempo Toriq Hadad mengutarakan jika peluang media cetak untuk meraih keuntungan dari versi digital sangat-sangat terbuka. “Memang model bisnisnya harus diubah,” ujarnya yang hari itu, Kamis (27/9/2018) menjadi narasumber pertama SoMM. Cara berpikir dan mengelola media on-line sungguh sangat berbeda ketimbang mengelola versi cetak.

Keberhasilan New York Times mendapatkan pelanggan berbayar konten mereka saat ini, dicontohkan Toriq, karena telah memulainya sejak 2011. Tidak dalam waktu sekejab. Butuh waktu dan energi yang tidak sedikit. Dalam hal melakukan monetisasi, nasihat Yosrizal Syamsuri dari Angkasa Pura II patut didengar. “Gunakan metode partnership jika ingin melakukan monetisasi digital dan bertanyalah kepada publik untuk menemukan ide-ide cemerlang guna mengembangkan versi digital kita,” ucapnya.

Pada akhirnya, pelajaran penting transisi dari versi cetak ke versi on-line adalah penghargaan tinggi kepada pembaca. Ini berasal dari sajian konten yang harus selalu berkualitas. “Dengan demikian, ketika versi digital berbayarnya semakin berkembang, penerbit pun tidak akan selalu bergantung kepada pengiklan (pemerintah),” tegas Toriq sore itu. (asw)

 

 Gambar mungkin berisi: 8 orang, orang duduk dan dalam ruangan

 

Gambar mungkin berisi: 8 orang, orang duduk dan dalam ruangan

 

Gambar mungkin berisi: 3 orang, orang duduk dan dalam ruangan

Gambar mungkin berisi: 3 orang, orang duduk dan dalam ruangan