Ketika Jurnalisme Berkualitas Jadi Prioritas

[IMG:img-2299-edit.jpeg]

Jurnalisme berkualitas adalah jawaban agar media cetak tetap menjadi prioritas dan bertahan di tengah gelombang media on-line tak berbayar.

Platform media berkembang dengan kehadiran media on-line. Keberadaannya mengubah cara orang memperoleh informasi: tak berbayar dan instan. Pelaku media berlomba-lomba menjadi yang tercepat menyampaikan informasi. Jurnalisme berkualitas pun dikorbankan. Kondisi tersebut menyentil Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat.

Bertempat di Jakarta, tepat di hari pendidikan nasional, Senin,  (2/5/2016), SPS Pusat berinisiatif mengadakan focus discussion group (FGD). Kegiatan yang dipimpin oleh Direktur Eksekutif SPS Asmono Wikan selaku moderator ini sekaligus mengawali rangkaian acara hari jadi ke-70 SPS. Hasil diskusi yang diikuti oleh pelaku industri, pengamat hingga praktisi PR korporasi itu akan dirangkum menjadi karya buku.

Djaka Susila, Wakil Pemimpin Redaksi Koran Sindo mengimbau agar media cetak berhenti bermimpi mampu menyaingi media on-line. “Percepatan informasi itu biarkanlah menjadi ranah media on-line. Kalau diikuti, pasti kalah,” ujarnya. Karena adanya kecenderungan itulah, media cetak mengorbankan dua prinsip jurnalisme berkualitas. Yakni, kemampuan memverifikasi dan membuat artikel komprehensif dari banyak sisi.

“Padahal, survei menunjukkan, berita opini yang cenderung analitik justru mendapat tempat tersendiri di hati publik. Bahkan tak jarang perhatiannya melebihi berita headline,” kata Djaka seraya menambahkan keberanian bersikap ini harus dimiliki redaktur selaku pengambil keputusan. Pendapat tersebut diamini Ahmad Djauhar, Wakil Ketua Dewan Pers.

Jufri Alkatiri, dosen Lembaga Pers Dr Soetomo meyakini jurnalisme yang berkualitas mampu menjembatani antara generasi X dengan generasi Y (generasi milenial yang sedari lahir terpapar teknologi). Sehingga mereka tak lagi berkesimpulan, “Buat apa baca koran, beritanya sudah didapat dari handphone.” 

Samiaji Bintang, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) pun merindukan jurnalisme berkualitas. Mengutip pernyataan Ted Koppel, wartawan senior Amerika Serikat (AS), media seharusnya berperan sebagai autentikator, sense maker, knowledge producer, mengarah pada jurnalistik berbasis riset, hingga akhirnya memengaruhi kebijakan publik. “Saat ini, media cenderung hanya menjadi corong yang mengedepankan jurnalisme air liur,” sesalnya. 

 

“Signature Media”

Mantan Pemred Republika Nasihin Masha berpendapat, yang membunuh media cetak di tanah air sebenarnya media cetak itu sendiri. Maraknya predatory pricing membuat persaingan usaha di industri media menjadi tidak sehat.

Industri media menjual hasil karyanya di bawah harga produksi. “Pagi dijual Rp 1.000, siang jadi Rp 500, sore sudah jadi barang loak,” katanya seraya menambahkan Washington Post, contohnya, berani membanderol seharga 3 dollar AS per eksemplar.

Sebagian besar media bahkan hanya menggantungkan nasibnya pada pemda sehingga hampir semua artikelnya berupa advertorial. Kondisi ini mengganggu kebebasan pers. “Suara-suara alternatif tidak muncul, jurnalisme berkualitas tidak tercapai,” ujarnya. “Selama ini berita pemerintah selalu positif, tahu-tahu kepala daerahnya diciduk KPK,” imbuhnya prihatin.  

Nasihin angkat topi kepada Bisnis Indonesia yang berani menjual produknya di atas harga produksi. Untuk itu ia meminta SPS menyerukan kepada seluruh pelaku media untuk mengelola industri pers secara fair. Tak hanya fair dari sisi konten jurnalistik tapi juga tata kelolanya. “Menjual produk, minimal, sesuai harga produksi. Berikan upah yang layak kepada wartawannya karena jurnalisme berkualitas hanya bisa diperoleh dari wartawan top,” tegasnya.

Kalau sudah demikian, Nasihin optimis media cetak tetap mendapat tempat di hati publik. “Kita dorong koran sebagai signature media. Pembaca koran adalah pembaca premium karena menjadi bacaan wajib dan terpercaya bagi para pengambil keputusan,” ujarnya bersemangat. “Kita tidak lagi bertendesi seberapa luas melainkan seberapa dalam ceruknya,” tambahnya seraya mendapat anggukan dari Bambang Halintar, Ketua SPS Pusat.

Optimisme serupa datang dari Arifin Asydhad, Pemred Detikcom. Ia mengatakan, industri media apapun platformnya akan bertahan tergantung model bisnis dan kreativitas. Prinsip ini juga berlaku pada media on-line. “Kalau media cetak bisa meyakinkan kepada pengiklan jika pembaca mereka adalah pembaca premium, kami juga begitu,” katanya. “Kalau dulu ukurannya dari page view, sekarang dari informasi yang paling dibutuhkan pembaca,” ujarnya.

Lain halnya dengan Agus Sudibyo, peneliti dan konsultan media, komunikasi politik dan informasi publik. Yang menjadi isu industri media di Eropa justru bukan lagi soal dikotomi jurnalisme media cetak dan on-line melainkan nasib keduanya bersaing menghadapi web search engine. Sebut saja Google, Yahoo dan media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, hingga e-commerce. “Sekarang ini sekitar 29 - 34 persen belanja iklan global diambil oleh media digital. Mereka tidak bayar pajak,” pungkas mantan direktur Indonesia Research Centre itu seraya berharap isu ini dapat ditangkap oleh SPS dan seluruh pelaku industri media di Indonesia. *** rtn